Strategi Dan Implementasi Pendidikan Abjad Bangsa Di Sekolah Tinggi Tinggi

STRATEGI DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DI PERGURUAN TINGGI 

Penulis: Guru Besar Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, M.A. (Rektor UIN Alauddin 2 Periode 2002-2010)

All strong societies have a strong moral basis. Any study of the history of economic development shows the close relationship between moral and economic factors. Countries and groups that achieve successful development do so partly because they have an ethic that encourages the economic virtues of self-reliance, hard work, family and social responsibility, high savings, and honesty
               
        (James Dale Davidson & Lord William Rees-Mogg)

PENDAHULUAN

    Globalisasi ialah sebuah perkembangan proses peradaban yang tidak mau tidak, kita harus lalui bersama dengan segala dinamika yang membawa imbas dalam tata nilai berbangsa dan bernegara. Sejalan dengan perkembangan tersebut, kesudahannya disadari bahwa negara dan bangsa Indonesia ansikh diperhadapkan pada suatu situasi pencarian dan penelusuran kembali karakternya, sebuah bangsa yang doloenya mempunyai abjad saling menghormati satu sama lain, terkenal lembut, malu berbuat penyimpangan, patuh pada aturan dst. Kini menjadi bangsa bernafsu yang mudah marah, terkesan semakin marak melaksanakan kekerasan, serta mudah disulut. Perilaku masyarakat terkesan semakin tidak beretika dan tidak disiplin dan Nilai-nilai luhur budaya terkesan mengalami degradasi. Beberapa figur yang mestinya menjadi penuntun dan teladan hampir ditiruana lini dipertontonkan secara merata di banyak sekali media dan menjadikan rakyat nyaris tidak percaya siapa siapa lagi termasuk mungkin mahasiswa terhadap ”guru”nya dan atau pemimpinnya. Perilaku tersebut ialah contoh-contoh yang mencerminkan rendah atau melemahnya abjad bangsa ketika ini.
Di Amerika serikat dikenal adanya sistem pendidikan untuk dua tahun pertama S1 dengan sistem yang disebut Liberal Arts Education. System ini berupaya mendidik seseorang mempunyai kapasitas pribadi yang bisa dikembangkan secara dinamis untuk menghadapi situasi yang tidak sama-beda semenjak dini. Tujuan simpulan dari sistem ini ialah menjadikan mahasiswa terdidik atau“educated” dan dalam bahasa arab kurang lebih disebut “Mutsaqqaf”. Di Amerika Serikat sendiri mata kuliah “literature” contohnya dirancang untuk membangkitkan “daya hidup” dan etos kerja serta semangat berguru mahasiswa dengan menganalisis daya juang para figur serta ungkapan-ungkapan bijak dan literature mereka. Mata kuliah dimaksud tampak ada pada hampir setiap perguruan tinggi disamping mata kuliah dasar yang disusun. Sayangnya, Sistem diatas tampak cenderung menafyikan peranan pemilik sumber daya dan potensi yang maha Agung (transcendental epistemology). Tampak ada daya insan yang agak tereduksi. Daya yang tereduksi dimaksud–sebagaimana akan dijelaskan nanti--adalah daya kalbu.
    Dunia pendidikan oleh lantaran itu, perlu serius ke “process” dan bukan spesialuntuk “content”.  Bukan lagi kita berharap pada “apa”, tetapi kepada “siapa” dan “mengapa”. Oleh lantaran itu kepemimpinan pendidikan tidak bergantung pada keahlian saja tetapi juga pada kemampuan untuk menjadi fasilitator dinamisator dan ”guru”. Memang, sedianya mahasiswa dihentikan dibentuk passive, tetapi harus dibentuk menjadi pembangkit dan pencetus aktifitas pendidikan ( generators). Kesalahan yang terjadi dihentikan ditakuti, tapi harus dijadikan alat pembelajaran (learning tools). Kelas harus fleksibel dan tidak selamanya harus terprogram. Penekanan pada “kemampuan melaksanakan sesuatu” atau “creating jobs” dan bukan spesialuntuk bisa “berteori” .
    Oleh lantaran itu, pendidikan harus memdiberi peluang kepada pebelajar  untuk menerima, merespons, dan menginisiasi perubahan melalui penemuan dan rasa tanggungjawaban dan membekali pebelajar dengan tantangan tantangan masa kini dan masa menhadir. Pendidikan harus membekali pebelajar dengan keterampilan keterampilan dan sikap yang dibutuhkan untuk menjadikan mereka orang yang baik, mengasihi kebaikan dan melaksanakan yang baik baik, kreatif, produktif, berdikari, dan berjiwa berdikari dan inovatif.
    Tujuan pendidikan dimaksud ialah untuk mengasah dan menggali potensi paling dalam yang ada pada diri manusia, mendesiminasikan, meningkatkan, mengembangkan, menjewantahkan, melestarikan dan menerapkan nilai-nilai atau abjad agung nan mulia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    Lebih khusus lagi, pendidikan dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan emosi dan bersikap samahah (toleran) dan terbuka, bagaimana menanamkan nilai nilai kejujuran (honesty), loyalitas, dan integritas (integrity), sanggup dipercaya (amanah.trusworthy), memperlakukkan orang lain dengan respek (respect), bertanggung tanggapan (responsible), adil (fair), serta peduli  dan kasih (caring), mempunyai ciri insan trampil (cultivating students’ practical skills), kreatif, kerja keras, bersemangat (cultivating students innovative spirit), mandiri, percaya diri, bijak, tekun, tegar, tertib, sadar aturan dan aturan, disiplin, damai, dan hormat, santun, suka menolong, dan baik serta rendah hati. Ketiruana yang disebut di ataslah yang ingin dituju oleh pendidikan karakter.
    Untuk itu tiruananya, perlu diciptakan lingkungan yang dibutuhkan, Peserta didik difasilitasi dengan pengalaman-pengalaman. Seterusnya, seluruh sumber harus digali, dan masyarakat pada umumnya termasuk masyarakat kampus khususnya secara keseluruhan dilibatkan sehingga tidak terjadi apa yang disebut oleh al-Bouty sebagai al mujtama’ al mutanaaqidh atau paradox society.

KAJIAN PUSTAKA

A.    Sumber Daya Manusia & Pembentukan karakter

Di dalam literatur-literatur Islam terkena SDM dikenal dengan adanya empat sumber daya minimal yang ada pada diri insan yang sanggup dikembangkan; Daya fisik, daya pikir, daya, kalbu, dan daya hidup (semangat) .
Menurut Alquran, insan diciptakan dari debu-tanah dan ruh. Tanah itu diolah sehingga melahirkan sosok manusia, sehabis sosok insan ini sempurna, Allah menghembuskan ruh Ilahi kepadanya. : “Fa iza sawwaituhu wa nafakhtu fihi min ruhi Faqa’uu lahu saajidiin.” “Kalau sudah tepat kejadiannya dan ditiupkan ruh kepadanya, maka  wahai para Malaikat sujudlah”.
Debu tanah itulah yang menjadikan insan mempunyai fisik. Itu sebabnya kalau insan mati dikembalikan ke tanah dan dia bercampur dengan tanah. Namun demikian, ada unsur lain yaitu, “ruh”. Ruh ada tiga sisinya, ada sisi yang dinamai sisi  “pikir” insan dan ada sisi yang dinamai sisi “kalbu” yang membuat mereka mengenali Tuhannya dan sanggup memdiberi manfaat buat sesamanya . Dan ada sisi yang disebut daya hidup, yaitu daya yang membuat mereka menjadi kreatif, inovatif, dan produktif.
Lebih khusus, daya kalbu apabila diasah bisa mengantar seseorang bekerjasama dengan potensi Tuhan, bisa mengantar seseorang mempunyai indra ke-enam, bisa menghasilkan suatu aktifitas, suatu kegiatan yang orang tidak percaya bahwa itu sanggup terjadi.
Dalam al-Quran, Nabi Sulaiman duduk bersama stafnya. Kemudian Nabi Sulaiman berkata : “di Yaman sana, ada singgasana Ratu Balqis. “Siapa kira-kira yang bisa menhadirkan singgasana tersebut dari Yaman ke Palestina”, yang kira-kira kalau kini membutuhkan waktu sekitar 4 jam naik pesawat jet. Jin yang jenius “’Ifriitun mina al-Jinni”berkata : Ana Aatiika bihi qabla antaquuma min maqaamika.” “Singgasana tersebut bisa saya bawa kemari sebelum engkau  kembali ke rumah”. Rumah Nabi Sulaiman konon jaraknya memakan waktu dari sekitar jam 8 pagi hingga Dhuhur. Apa kata seorang insan yang mengasah daya kalbunya. : “Ana Aatiika bihi qabla anyartadda ilaika Tharafuka.” “Sebelum matamu berkedip  singgasana itu sudah ada di hadapan engkau,” Teknologi apa yang digunakan ? Itulah daya kalbu (daya Tuhan terserap masuk ke daya hambanya yang mengasah daya kalbunya). Siapa yang mengasah daya kalbunya. berdasarkan hadits riwayat Bukhari, Allah akan menganugrahkan kepadanya kemampuan sehingga mata yang digunakannya melihat ialah pandangan Tuhan, indera pendengaran yang dipergunakannya mendengar ialah pendengaran Tuhan, kaki yang digunakannya melangkah ialah kaki Tuhan. Itulah daya kalbu.
Dari daya kalbu ini, insan sanggup mempunyai sumber daya yang begitu mengagumkan. Apa daya yang begitu menonjol dan paling dominan? Kita lihat sewaktu Allah s.w.t memberikan rencananya membuat Adam, malaikat bertanya atau “keberatan” “Ataj’alu fiha man yufsidu fiha wa yusfikuddima wa nahnu nusabbihu bihamdika ?” “Hai Tuhan Engkau membuat mahluk itu yang melaksanakan pertumpahan darah dan merusak di bumi padahal kami bertasbih kepadamu”. Tuhan menjawaban :
 “Aku tahu apa yang engkau tidak ketahui”
Dibuktikan bahwa insan lebih hebat dari pada malaikat “dalam konteks menjadi khalifah di muka bumi.” Apa kehebatannya? “ilmu pengetahuan” :
Sekali  lagi, kita disini tidak sama dengan konsep dari Barat. Dalam al-Quran, ada ilmu yang diusahakan perolehannya dan ada ilmu yang dianugrahkan oleh Allah SWT. Kita bisa belajar, kita sanggup ilmunya  tetapi ada cara lain untuk memperoleh ilmu. Imam Al-Gazali memdiberi contoh, ilmu diibaratkan air masuk ke dalam suatu wadah, wadah bagi insan ialah kalbunya. Ada illustrasi yang menyatakan, kalau wadah itu kolam, maka bagaimana cara menjadikan kolam itu penuh. Tekniknya ialah mengalirkan air dari luar masuk ke kolam atau menimba air supaya kolamnya penuh. Air dari sungai dialirkan ke kolam, sehingga kolam itu penuh.
Teknik yang kedua ialah menjadikan wadah itu mirip sumur. Air bukannya hadir dari luar, tetapi digali sumurnya, sehingga memancar dari bawah air itu air yang lebih jernih yang hadirnya dari dalam. Air tersebut sudah otomatis hadir tiada henti-hentinya, sama dengan air zam-zam, tidak ada akhirnya. Ilmu yang dicari melalui upaya insan itu mirip air dari luar masuk ke kolam. Tetapi kalau mau mendapat yang jernih dan terus-menerus ada, jadikan kalbu anda mirip sumur. Sumur (kalbu) harus dihilangkan tanah-tanahnya yang berbatu-batu (dengki, sombong, iri, fitnah, niat jelek, pikiran politik busuk, menuduh orang lain tanpa cek dst.), digali terus hingga menemukan mata airnya. Demikianlah citra yang dikemukakan oleh para pakar sufisme.
Ketiga daya di atas ditambah satu daya lagi, yaitu daya hidup. Ada orang pintar, ada orang mengasah kalbunya tapi dia tidak punya daya hidup. Daya hidup itu ialah semangat dan kreatifitas. Daya hidup itu yang menjadikan seseorang bisa untuk menghadapi tantangan, bisa bekerja keras, produktif, kreatif, proaktif, dan inovatif.
Empat daya pokok ini menghasilkan ratusan atau ribuan daya dalam diri manusia, Itu sebabnya ada hadis yang menyatakan : “ Inna al-Laha khalaqa Adam ‘ala suratihi.” Allah membuat Adam sesuai dengan petaNya. Dalam arti dia didiberi potensi untuk berkemampuan yang dahsyat dengan cara meneladani sifat-sifat (daya) Tuhan. Takhallaq bi Akhlaqillah.
Dari sinilah timbul pikiran bagaimana menerapkan system yang compatible dengan liberal arts education yang sesuai dengan pengembangan empat sumber daya insan berdasarkan tuntunan Islam.
melaluiataubersamaini kata lain, berkaitan dengan perjuangan menuju keunggulan dalam bidang akademik dan abjad yang agung, perlu dimulai dengan minimal melaksanakan 1. pengembangan daya kalbu, akhlak, dan daya hidup mahasiswa melalui diantaranya materi “retorika kaum bijak” dan 2. pengembangan keterampilan bahasa abnormal dalam rangka meluaskan world view (pandangan dan pengetahuan luas) para mahasiswa dengan cara yang praktis, hidup tidak berbelit belit, serta sangat bahagia.
Kedua hal ini minimal diharapakan sanggup menjadi nilai kompetitif yang menjadikan seorang mahasiswa sanggup mengungguli mahasiswa dari forum lainnya. melaluiataubersamaini hal pertama diharapkan mahasiswa tidak tercemar pikirannya dengan hal-hal yang negatif  sementara dengan hal yang kedua diharapkan pikirannya tidak terkesan picik dan dangkal. Dan dari keduanya mahasiswa diharapkan bisa bersaing dan sanggup hidup di tengah tengah masyarakat dengan peranan yang sanggup dipercaya dan kelak  otomatis tidak menjadi beban bagi masyarakat itu sendiri.

B. Meng-asah Inner Capacity dalam rangka pembentukan abjad mulia

Adalah Coleman, penyusun engkaus ”Dictionary of Psychology” yang mempopulerkan istilah ini. Peng-asah-an Inner Capacity ialah perjuangan pengembangan  kreatifitas, proaktifitas, (daya hidup dan kewirausahaan) inovasi, dan imajinasi  (daya pikir dan budi serta daya kalbu) mahasiswa. Pengembangan Inner Capacity ialah pengembangan kemampuan yang tidak tangible (tidak observable) tidak mudah dideteksi (karena ia berasal dari ruh ilahi), namun secara nyata menjadi competence (kompetensi) (which is a capacity or ability (berupa kapasitas dan kemampuan)) yang efektif dan efisien untuk menuntaskan suatu kiprah tertentu secara tuntas.
Inner capacity terlahir dari daya paling dalam dari diri insan yang bersumber dari ruh Ilahi. Sementara ruh dalam diri insan sebagaimana diungkap oleh Ikhwanushafa ialah substansi yang naturnya spiritual (membakar semangat ruuhaniyyatun), celestial melangit tanpa batas/ borderless (samaawiyyatun), luminious bercahaya, tidak petang hati dan perilakunya (nuuraniyyatun), living /hidup tidak mati tidak fatalis (hayyatun), and knowing/cerdas (allaamatun), potentially (bilquwwati), dan active (faalatun) . Hossen Naser menulis :” The goal of education is to enable the soul to actualize these potential possibilities, thereby perfecting it and preparing it for eternal life.  Tujuan pendidikan ialah membuat potensi potensi tersebut diatas dimungkinkan untuk aktif dan tidak pulas menuju  kesempurnaan untuk dipersiapkan buat menghadapi hidup yang awet. Misi pengembangan kegiatan inner capacity ialah mendidik seseorang mempunyai kapasitas pribadi yang bisa dikembangkan secara dinamis untuk mengahadapi situasi yang tidak sama-beda. Program dimaksud diinkorporasikan dalam suatu kegiatan yang dirancang untuk mahasiswa gres selama dua semester. Program dimaksud harus berfungsi sebagai media untuk memmenolong mahasiswa memperkuat identitas pribadi, mempersembahkan isyarat hidup, meningkatkan kreatifitas, proaktifitas, dan imajinasi mahasiswa, meningkatkan ketaqwaan dan keimanan, meningkatkan kapasitas berguru dan membangun serta menyebarkan pengetahuan dan  kompetensi mereka masing-masing bagi diri mereka sendiri untuk menghadapi situasi yang tidak sama beda.  
    Menurut Adi Sasono , dalam buku ”Leading to Revolution” dijelaskan adanya pertarungan atau kompetisi kekuatan yang sedang tumbuh antara kekuatan birokrasi dan formalitas pengetahuan yang sedang tumbuh dengan kekuatan yang didasarkan pada kreativitas dan jaenteng. Yang cepat mengalahkan yang lambat, bukan yang besar mengalahkan yang kecil. Dunia pendidikan biasanya kurang menyadari keadaan ini, dibanding dengan dunia industri. Akibatnya produk pendidikan kalah cepat dengan kebutuhan industri, sehingga banyak sarjana yang menganggur. Dunia pendidikan lamban sekali perkembangannya, kecuali beberapa pendidikan tinggi yang menyadari perubahan tersebut.
    Bukan lantaran peluang tidak ada, tapi cara mencari peluang yang tidak sama. Alumni perguruan tinggi yang tidak kreatif dan imajinatif kadang tidak berdaya menghadapi kenyataan hidup, dibanding orang biasa yang kreatif dan imajinatif. INI yang harus disadari lantaran ternyata power akan tergeser dari hierarki pengetahuan formal ke hierarki kreatifitas dan imajinasi. Hanya saja, kreatifitas dan imajinasi yang tinggi harus dibungkus dengan susila mulia sebagaimana tertuang dalam Alquran dan sunnah. Diperlukan alumni yang mulham dengan ilmu hikmah. INI yang akan mengakselerasi power dan membuat alumni kegiatan dan jurusan ilmu agama yang sadar akan perlunya soft skills, pengembangan inner capacity, perlunya liberal arts education, pentingnya intre dan interpreunership misalnya, tidak akan kalah dibanding alumni prodi umum beken nan laku dari alumni perguruan tinggi atau fakultas yang kurang menyadari pentingnya memahami perubahan pesat yang sedang terjadi.

C. Pendidikan Karakter

    Ada dua bekal kompetensi keterampilan (Skills) yang perlu didiberikan kepada setiap lulusan untuk membuat mereka sanggup bersaing. Yang pertama disebut Hard skills yaitu kompetensi pengetahuan pada bidangnya pada prodi yang ia ambil (Knowledge of  Field) dan pengetahuan cara menggunakan serta seni menggunakan ilmu pada bidangnya tersebut (Knowledge of Technology) dan yang kedua disebut Character Education.
    Kata abjad asalnya dari bahasa yunani yaitu “charassein” yang maknanya mengukir sehingga terbentuk sebuah pola.  Proses pendidikan ialah proses “pengukiran”.dan “nurturing” atau bahasa kitab sucinya proses “rabbaniy”  yaitu pengukiran lewat proses pembiasaan, keteladanan, kedisiplinan dsb sehingga terbentuklah sebuah pola tingkah laku yang mulia. Kalau tidak, maka berdasarkan Confucius insan menjelma binatang.
    Berikut ini pernyataan para pakar dan tokoh wacana pendidikan abjad ; People expect schools to not only make children smart but to make them good, to turn out good citizens and leaders. Character education has that expectation (Mussie Hailu). Education has for its object the formation of character (Herbert Spencer). To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society (Theodore Roosevelt). Intelligence plus character – that that is the true goal of education (Martin Luther King, Jr) . Character educatioan is the deliberate effort to develop virtues that are good for individual an good for society (Prof. Thomas Lickona). Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some extent a gift. Good character, by contrast, is not given to us. We have to build it piece by piece – by thought, choice, courage and determination.”. (John Luther)  “character education is teaching students to know the good, love the good, and do the good. ”it is cognitive, emotional, an behavioral. It integrates head, heart, and hands. It places equal importance on all three”  ( Prof. Kevin Ryan)
Pendidikan Karakter selain yang tertuang pada pertama makalah ini, ialah kompetensi yang berkaitan dengan hal-hal mudah yang sanggup digunakan dalam hidup penerima didik untuk menghadapi situasi, kondisi, dan lokasi yang tidak sama beda ; diantaranya ialah 1. Percaya adanya Tuhan dengan sadar, Logical Skills dan analytical Skills yang membuat mereka cerdas dan sholeh tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain, yang muatannya sanggup diambil diantaranya dari buku “retorika kaum bijak” susunan penulis. 2. Keterampilan berkomunikasi baik mulut maupun goresan pena dengan menggunakan diantaranya materi retorika kaum bijak dimaksud dan muatan bacaan dalam buku “qiraah rasyidah” dan bacaan serupa lainnya” misalnya,  yang kemudian sanggup membuat mereka menjadi bukan spesialuntuk baik dan sholeh tetapi sanggup membuat mereka menjadi penganjur kebaikan dan peradaban. 3. Keterampilan yang membuat mereka bisa bekerja dengan motivasi yang sangat tinggi  secara berdikari (berdikari)/ (ability to work independently) sehingga mereka mendapat peluang untuk berkreasi, diberinovasi, dan memproduksi karya-karya yang gemilang namun pada hal yang sama mereka juga sanggup bekerja dalam suatu tim organisasi (tidak egois) /Ability to work independently dalam suatu tatanan/sistem yang teratur yang sanggup mensugesti orang lain berbuat kebajikan dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain lantaran kecerdasannya memilah dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk serta kemampuannya untuk menghargai waktu. Muatan materi yang ketiga ini juga sanggup diperoleh dalam buku “retorika Kaum Bijak” serta “qiraah Rasyidah” dan semisalnya. Ketiga point di atas diharapkan sanggup membuat mereka bisa menyebarkan diri mereka dan mereka kemudian menjadi terpelajar (educated), cukup umur ,dan tidak ke kanak-kanakan.
Pendidikan abjad sanggup juga berupa “hidden curriculum” mirip time management, initiative, etika/integritas, kemampuan berpikir, kemauan belajar, komitmen, cita-cita meraih sesuatu/motivasi, dorongan energi/semangat meluap luap, komunikasi lisan, kreatifitas/out of box thinking, kemampuan analisis, sanggup mengatasi stress, management diri (self management)/ mengambil tanggung tanggapan (taking responsibility), duduk perkara solving, kerjasama dan gotong royong (cooperation), mudah menyesuaikan diri dan bijak (adaptability/flexibility), team work, berdikari (self reliance/independence), mau mendengar (listening), Dll.
 “To carry out character education is to thoroughly implement the national principle of education and to serve the ultimate goal of raising the quality of the workforce. Character education emphasizes cultivating students’ innovative spirit and practical skills, transforming them into exemplary builders of socialism who will be well developed morally, intellectually, physically and artistically, with lofty ideals and a good sense of discipline (Lanqing : 307)

D.    Keagungan Akhlak 

    Dalam buku Attarbiyah wa al-Ta\'liim , penulisnya mengemukakan tiga alternatif dari tujuan pendidikan : 1) Untuk mempergampang mencari rezki  (kasbu al-Rizqi), 2) Demi untuk memperoleh ilmu pengetahuan (al-Ilmu), dan 3) Karakter serta susila mulia
    Kata susila yang terambil dari bahasa Arab dan biasa diartikan dengan tabiat, karakter, perangai, kebiasaan, dan agama, dalam engkaus besar Bahasa Indonesia berarti "budi pekerti" atau "perilaku". Cobalah cermati ungkapan-ungkapan baik, Hadis, al-Qur\'an, maupun ungkapan-ungkapan bahasa Arab sebagaimana diberikut.
    "Innama Buitstu Liutammiama makaarima al-akhlaaq"  (Sesungguhnya saya spesialuntuk diutus untuk menyempurnakan abjad susila yang mulia). Dalam Hadis yang lain :" Albirru Husnu al-khuluqi", (Kebajikan itu pada kebaikan akhlak). Rasulullah sendiri pribadi mendapat didikan dari Tuhan dengan menampakkan ketinggian akhlaknya dari semenjak kecil hingga simpulan hayatnya dengan firman Tuhan :Wa innaka la\'alaa khuluqin \'adhiem  (Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung). Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan umatnya untuk senantiasa meneladani Allah dalam tiruana sifat-sifatnya yang disebut Al-Asma\' ul Husna  (sifat-sifat yang terpuji) dengan tawaran yang bunyinya : "Takhallaquu bi akhlaaqi al-Llah "  ( Berakhlaklah dengan akhlaq Allah), dan ketika Aisyah ditanya terkena akhlaq Rasulullah s.a.w., ia menjawaban :"Kaana khuluquhu al-Qur\'aan" (Budi pekerti Nabi s.a.w. ialah al-Qur\'an). Terakhir, ada ungkapan yang sangat terkenal yang bunyinya : " Innama al-umamu al-akhlaaqu maa baqiat. Wainhumu zahabat akhlaquhum zahabuu." (Sesungguhnya bangsa-bangsa akan tetap berjaya selama susila mereka tetap ada. Bila susila mereka sudah tiada, maka merekapun akan sirna).
    Menurut Thaha Mahmud, ilmu akhlaaq ialah ilmu yang mengulas wacana tingkah laku manusia, yang menerangi jalan bagi insan untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan serta mengajak insan untuk berpegang pada yang pertama dan melepaskan diri dari yang kedua, membuktikan wacana tujuan dan pandangan hidup yang hendak dituju oleh manusia, mempersembahkan batasan-batasan wacana komunikasi dalam pergaulan antara sesama manusia, dan membuat pada jiwa insan suatu kecenderungan untuk mempunyai keutamaan-keutamaan.
Ilmu al-Akhlaaq hua al-ilmu al-lazii yabhatsu fii suluuki al-naas wa yuniiru lana al-sabiil li altafrriiqi baina al-khairi wa al-syarri wa yad\'uu ila altamassuki biawwalihima wa al-takhallii \'an tsaaniihima wa yubayyinu alghayata almutslaa alllatii yanbaghi \'an naqshuda ilayhaa wa yuhaddidu al-alaaqaat fii muamalati alnnaasi ba\'dhuhum ba\'dhan wa yakhluqu fi al-nafsi waazi\'an bihadhdhiha \'ala ittibaa\'i al-fahdaail ( Thaha Mahmuud  1932 : 6)
    Menurut Nasih A. Ulwan, "Pendidikan Karakter" ialah suatu perjuangan yang sengaja dilakukan biar obyek didik memperoleh sekumpulan prinsip-prinsip budi pekerti, abjad yang mulia dan keutamaan-keutamaan sikap dan perasaan, kemudian terbiasa dengannya semenjak dini hingga ia cukup umur dan bergumul dengan kehidupan nyata.  
    Selanjutnya dipertanyakan apa kriteria, tolok ukur dan bentuk dari sikap yang dikategorikan berakhlak mulia. Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa para ulama mempersembahkan rumusan bahwa baik dan buruk dalam sikap mestilah merujuk kepada ketentuan Tuhan. Apa yang dinilai baik oleh Tuhan, niscaya baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, mustahil Tuhan menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, lantaran kebohongan esensinya buruk.
    Itulah sebabnya mengapa sebagaimana ditetapkan di atas, insan dianjurkan untuk meneladani dan berakhlaq dengan susila Allah dan apa yang tertuang dalam kitab suci, dengan sifat-sifat Allah yang disebut dengan al-asmaa ul-Husna, mirip pemaaf, aktif hidup, bijaksana, pengasih, penyayang, dan seterusnya.
    Aristotle mencoba membuat filsafat yang berkaitan dengan moral untuk dijadikan panduan umat manusia, Namun, perlu ditekankan bahwa pendidikan agama dan susila harus berjalan seiring lantaran agama ialah ruh dari akhlak. Seorang filosof Jerman berjulukan Fichteh pernah berucap bahwa " susila tanpa agama ialah sia-sia".  Sementara Tokoh India ,Gandi menyatakan bahwa agama dan susila mulia ialah satu dan tidak sanggup dipisah-pisahkan . Ibnu Miskawaih membuktikan bahwa syariat agama ialah faktor yang meluruskan abjad remaja, yang membiasakan mereka untuk melaksanakan perbuatan baik, sekaligus yang mempersiapkan diri mereka untuk mendapatkan kearifan .
    Di Barat sering diartikulasikan bahwa "Anda boleh melaksanakan perbuatan apa saja selama tidak berperihalan dengan hak orang lain". Di dalam agama ditemukan tawaran susila yang bunyinya : "Anda hendaknya menlampaukan orang lain dari pada kepentingan Anda sendiri".
    Akhlak pada esensinya tidak sanggup disamakan dengan etika. Kalau etika berkaitan dengan sopan santun antar sesama manusia, serta cenderung berkaitan dengan sikap lahiriyah, maka susila mempunyai makna dan dimensi yang lebih luas, termasuk sikap batin maupun pikiran. Para pakar mencoba merumuskan tiga obyek dari akhlak. Pertama, Akhlak terhadap Tuhan;  Kedua, Akhlak terhadap diri sendiri dan sesama manusia, dan Ketiga, Akhlak terhadap lingkungan.
    Banyak kalangan penulis Timur Tengah yang menyatakan bahwa di antara sekian literatur wacana susila yang paling mempunyai nilai yang sangat tinggi dan barharga ialah naskah klasik berbahasa Arab "Tahdzibu al-akhlaaq" oleh Ibnu Miskawaih (941-1030 M.) yang berdasarkan para andal ialah buku text pertama wacana filsafat etika dan pendidikan karakter. Naskah ini sudah diterjemahkan oleh Constantine K. Zurayk ke dalam bahasa Inggris dengan judul "The Refinement of Character" pada tahun 1968 dan dibentuk syarahnya oleh Ibnu al-Khatiib pada tahun 1985 yang mempersembahkan evaluasi sebagai naskah  yang tertinggi nilainya di antara sekian naskah filsafat tingkat dunia wacana etika dan karakter.
    Sebuah silogisme dari Ibnu Miskawaih wacana pendidikan susila berbunyi sebagai diberikut : " Setiap abjad sanggup berubah. Apapun yang bisa berubah, itu tidak alami. Kalau begitu, tidak ada abjad yang alami." Sesudah mempersembahkan klarifikasi yang cukup panjang, ia kemudian menyimpulkan besarnya peranan, manfaat, dan imbas pendidikan terhadap obyek didik.
    Mengulangi sedikit paparan terlampau, Menurut Ikhwaan al Safaa jiwa (ruh) ialah substansi spritual (memdiberi semangat), samawi (tanpa batas), yang sanggup memancarkan cahaya, yang hidup, dan secara potensial mengetahui sesuatu, serta pada hakikatnya aktif. Nah, tujuan inti pendidikan ialah untuk membuat jiwa (ruh) mengaktualkan kemungkinan-kemungkinan potensi tersebut atau bagaimana mengeluarkan pengetahuan yang sudah mendekam  dalam bentuk potensi diri ke bentuk sikap (akhlak) dan sikap.  melaluiataubersamaini demikian substansi jiwa sanggup menjadi baik, susila menjadi terpuji dan tepat demi untuk persiapan hari kemudian yang abadi .

E.    Teknik Pembentukan Sikap dan Karakter 

    Berdasarkan pandangan beberapa pakar terkemuka wacana pendidikan, beberapa pokok pikiran sebagaimana  diberikut kiranya layak untuk disimak untuk menjadi hal yang sanggup dilakukan dalam rangkaian pembentukan sikap, karakter, dan susila mulia yang diharapkan.
E.1. Pembiasaan 
    Ungkapan dari pengalaman Dr.Asif F.Hadipranata, pakar psikologi UGM, sewaktu menjadi konselor di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) yang kisahnya sebagaimana diungkapkan dalam Republika (12 Juni 1996) dalam rangka pembentukan sikap lewat adaptasi (al\'adat), kiranya bisa kita petik sebagai diberikut :
    Pada ketika itu diadakan lomba yang meliputi kemembersihkanan, kejujuran, kerjasama, dan kepemimpinan antar sekolah. Sekelompok demi sekelompok siswa TK penerima lomba tersebut dimasukkan secara bergiliran ke dalam suatu ruangan. Ruangan itu meliputi banyak sekali alat permainan yang jumlahnya terbatas dan sejumlah bangku bagi penunggu giliran yang tidak kebagian mainan.
    Lantai ruangan itu sengaja dikotori dengan sobekan-sobekan kertas dan kotoran-kotoran lain. Disamping itu, disediakan juga sebuah kulkas meliputi masakan dan minuman dengan harga yang sudah dicantumkan di atasnya, serta uang receh bagi yang memerlukan kembalian.
    Ketika bawah umur Indonesia dimasukkan, mereka pribadi berebut mainan tanpa mempedulikan kemembersihkanan ruangan tersebut. Mereka bertengkar, bahkan ada yang hingga menangis. Saat mengambil masakan dan minuman, mereka juga berebut dan tidak membayarkan uang mirip harga yang tertera.
    Sedangkan bawah umur Jepang, begitu masuk ruangan,secara impulsif mereka memmembersihkankan ruangan tersebut bersama-sama. Sesudah itu secara tertib mereka mendekati mainan-mainan yang ada, yang tidak kebagian duduk antre di kursi. Ketika mereka haus atau lapar secara tertib mereka mendekati lemari pendingin-satu demi satu melayani kebutuhannya sendiri dan membayarkan uang sesuai harga. Tentu saja pemenang lomba tersebut ialah bawah umur Jepang ini.
    Alasan mereka bersikap jujur ialah "Kalau kami tak membayar masakan yang kami ambil, maka paman (kata "paman" ialah sebutan bawah umur jepang kepada para pedagang) penjual akan rugi, dan kalau paman penjual rugi, maka mereka tidak akan bisa berdagang lagi. Nah, kalau suatu ketika kami butuh masakan dan minuman lagi, kami harus beli dari siapa,coba ?"
    Demikianlah sikap rasa malu bersikap egois sanggup ditumbuhkan dalam diri setiap penerima didik semenjak dini, semenjak masa kanak-kanak, bahkan sebagaimana pandangan Ibnu Sina, semenjak masa menentukan jodoh. melaluiataubersamaini menanamkan kesadaran bahwa apapun yang dilakukan seseorang, baik atau buruk, akan membawa dampak kepada diri sendiri dan orang lain.
E.2. Keteladanan (Values are caught)
    Qutub (: 221) menyebut keteladanan dalam bahasa Arab sebagai Qudwah. Teknik pendidikan abjad ini- meskipun sering terlupakan dalam diskursus pendidikan-  ialah salah satu metode yang efektif dan sanggup membuahkan hasil gemilang. Al-Abrasyi (1964) menulis bahwa keteladanan ialah faktor utama dalam membentuk kebiasaan.  Itulah sebabnya, maka Ibnu Sina menegaskan perlunya guru yang bertindak sebagai  mursyid  dan refrensi hidup penerima didik yang sanggup diteladani . Manusia teladan terbesar dalam alam nyata ialah Nabi Muhammad s.a.w sendiri.
    Orang-orang Arab dalam masa jahiliahnya sudah melihat pada diri Muhammad s.a.w. keistimewaan dan kemuliaan akhlaknya, sehingga ia digelari " al-shaadiqu al-amiin"  (yang benar lagi amanah)
    Orangtua di rumah, guru di sekolah, dan pemuka masyarakat baik formal (atasan) maupun informal di masyarakat, ialah pendidik yang menanamkan benih-benih pertama abjad mulia serta sikap dan sikap determinan dalam diri anak-didik.
    E.3.  Sentuhan Kalbu Melalui Kata Hikmah, Dialog 
    Di dalam menanamkan nilai-nilai, yang disentuh ialah rasa dan kesadaran insan yang lebih dalam  yang letak dan posisinya tidak di otak, tapi di hati dan kalbu. Hal ini tentunya terkait dengan aspek afektif dan psikomotorik. Ada suatu hal yang menarikdanunik untuk diaktualkan kembali dalam kaitannya dengan pendidikan nilai untuk menyentuh kesadaran insan yang lebih dalam sehabis hilang dalam peredaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam; yaitu pelajaran  Almahfudhaat. yang meliputi sentuhan akan nilai-nilai belajar, kebenaran, kejujuran, kesungguhan, kehormatan, kedisiplinan, penghargaan atas ilmu pengetahuan, dsb.yang tentunya laik untuk menumbuhkan sikap fleksibilitas, keterbukaan, ketegasan, pendangan ke depan, perrcaya diri, toleransi, kemandirian, dst. Pelajaran berupa amtsaal (perumpamaan), hikmah, dan ungkapan-ungkapan betul-betul sanggup menyentuh hati secara sangat efektif.
    Manusia masa moderen gotong royong amat sangat membutuhkan sentuhan sentuhan pendidikan nilai-nilai sufiistik dan falsafah hidup keagamaan yang lebih menyentuh. Oleh lantaran itu, dimasukankan adanya seorang pendidik khusus yang menangani pendidikan nilai lewat metode ini.
    E. 4. Kisah-kisah termasuk apa yang disebut “literature”
    Kisah-kisah yang mengandung nilai mirip Al-Qiraat al-Rasyiidah yang banyak beredar di Indonesia atau semisalnya diharapkan sanggup membentuk kebiasaan dan abjad mulia dan agung. Kisah-kisah serupa didapati juga dalam bahasa Inggris yang dibentuk oleh Aesop.  Nilai edukatif cerita al-Qur\'an bahkan sudah ditulis menjadi sebuah desertasi Doktor. Kisah-pendek kurang lebih 5-10 menit tentu sanggup diinkorporasikan dalam satu mata pelajaran tertentu atau dikisahkan sebelum penyajian topik inti suatu mata kuliah
    E.5. Kedisiplinan
    Sebenarnya, Kedisiplinan sangat efektif untuk membentuk sikap positif dikalangan penerima diddik. Hal ini erat kaitannya dengan ketegasan yang proporsional--tapi bukan kekerasan.
Tiga Prinsip Dasar    
    Semua metode yang dikemukakan diatas berdasarkan hemat penulis harus mengacu pada beberapa prinsip pokok sebagaimana tergambar dibawah ini :
1. Keterpaduan  ( education of the whole man)
    Prinsip ini ialah hal yang sifatnya integral yang oleh Sayid Qutub dikatakan "Jismuhu (Al-Kaa\'in al-Basyariy) wa \'akluhu wa ruhuhu, hayaatuhu al-maaddiyah wa al-Ma\' nawiyyah,  yakni pendidikan yang menekankan keseimbangan antara pengembangan spritual-perasaan, intelek-rasional, dan jasmaniyah.
2. Kesinambungan dan holistik
    Ini dimaksudkan biar seseorang sanggup dibentuk terus menerus secara kuntinu meningkatkan kualitas diri, sesuai dengan prinsip life-long education yang akan menghasilkan life-long learning sebagaimana yang diakui oleh Drucker bahwa Post-capitalist society requires life-long learning atau Mina al-Mahdi ila al-Lahdi (pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat),  sehingga diharapkan akan terjadi pemeliharaan sikap, karakter, dan susila serta penumbuhan dan pendewasaan yang terus menerus.
3. Kesejalanan (sinkronisasi)
    Yang dimaksud di sini ialah adanya kesejalanan atau sinkronisasi antara apa yang diterima oleh penerima didik di sekolah dengan pandangan hidup serta apa yang terjadi pada keluarga dan masyarakat, sehingga tidak menjadikan apa yang oleh Al-Bouty disebut sebagai Almujtama\' al-Mutanaqidh.. Di satu pihak moral, karakter, dan nilai susila diajarkan, di lain pihak diinjak-injak dalam praktek di tengah masyarakat.

STRATEGI DAN IMPLEMENTASI
    Kata kunci pertama dari seni administrasi dan implementasi yang patut dilakukan di perguruan tinggi ialah adaptasi semenjak mahasiswa mendaftar ulang hendak masuk di perguruan tinggi dengan serentetan aturan dan implementasi aturan perjanjian dan hukuman terang terukur dan tidak redundant tidak intrepretable. Sejak pertama mahasiswa sudah disuguhi contract of expectation.
    Pendekatan yang dilakukan selayaknya ialah pendekatan holistic (terintegrasi dan tersinkronisasi) dimana pengembangan abjad diintegrasikan dan diinterkoneksikan pada tiruana aspek yang ada dalam lingkungan perguruan tinggi.
    Untuk itu, perlu ada kerja sama seluruh komponen yang ada di perguruan tinggi, mahasiswa, dosen, staff, para wali mahasiswa serta komunitas lainnya. Penerapan nilai-nilai di perguruan tinggi hendaknya sama penekanannya dengan bidang akademik pada umumnya. Model pendekatan sanggup berupa obrolan berperadaban, duduk perkara solving dan sentuhan kalbu. Model pembelajarannya dengan demikian sifatnya aktif dan sugggestopedik..


SIMPULAN DAN REKOMENDASI

    Demikianlah uraian singkat terkena pendidikan abjad ini dikemukakan, dengan menambahkan  perlunya gaya dialogis dikembangkan dan pemdiberian pemahaman terhadap phenomena kehidupan dan pengambilan pelajaran dari apa yang sedang terjadi sehingga tercipta sentuhan sentuhan pada budi dan kalbu.
    Nilai-nilai pendidikan abjad yang hendak dijabarkan harus selaras dan serasi, tidak saling berperihalan. Disamping itu, diharapkan munculnya kelompok yang benar-benar menghayati nilai-nilai susila dan abjad yang agung serta aktif mengalirkan arus positif lantaran “loving the good” dalam masyarakat lingkungannya, sebagaimana diperlukannya pentahapan dalam sosialisasi nilai-nilai yang ingin ditularkan, dan adaptasi dengan disiplin, serta persuasi ganjaran dan hukuman bila diperlukan.
    Terakhir, Direkomendasikan adanya semacam sentra kajian pendidikan abjad di perguruan tinggi dan perlu digaris bawahi bahwa dari para orang tua, orang dewasa, para dosen dan pegawai, pimpinan serta pemuka masyarakat ialah unsur yang amat penting bagi penghayatan dan pengamalan nilai-nilai karakter. Wallahu a\'lam bishawaab.


DAFTAR PUSTAKA

Abuud, Abdul Ghani. Al-Fikru al-Tarbawiy \'Inda al-Ghazaliy, Cairo : Daar al-Fikri al-Arabiy, 1982.
Al-Bouthy, Said Ramadhan. Al-Islam wa Musykilaat al-Syabab, Maktabah Farisiy, 1393 H.
Al-Miskawaih, Abu Ali Ahmad. Tahdziibu al-akhlaaq wa Tathhiru al-a\'raaq (Tahqiiq Ibnu al-khatiib), Lebanon: Dar al-Kutub al-\'Ilmiyyah, 1398 H.
Arsyad, Azhar dkk. Memahami Kebahagiaan: Antara Impian dan Kenyataan, Makassar : Alauddin Press, 2006.
______.  al-Qiraah al-Ashriyyah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
______. Retorika Kaum Bijak: Media Pembangkit Motivasi dan Daya Hidup Serta Penanaman Nilai-Nilai dan Budi Luhur, Makassar: Yayasan Fatiya, 2005.
Ashraf, Syed Ali. New Horizons in Muslim Education. Great  Britain and Cambridge : Hodder and Stoughton, 1985.
Baharits, Adnan Hasan Salih. Masuuliyatu al-Abi al-Muslimi fi Tarbiyati al-waladi fi Marhalati al-Tufuulati, Jeddah :Darul Mujtama\', 1991.
Bremer, Sidney Newton. 366 Esai untuk Memotivasi Diri, Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen dengan PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1993.
Colman, Dictionary of Psychology, Oxford Presss University, 2003.
Davidson, James Dale & Lord William Rees-Mogg. The Sovereign Individual: How to Survive and Thrive During the Collapse of the Welfare State. New York : Simon and Schuster. 1997.
Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin, Pembentukan Sikap dan Perilaku dalam Pendidikan Islam, Ujungpandang: Seminar Nasional Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin, 1997.
Goble, F and David Brooks. The Case for Character Education : The Role of the School in Teaching Values and Virtue, California : Studio 4, 1997.
Hamzah, Firyaal. Mausuu’ah Aqwaal Ma’tsuurah, Daar Usaamah, Omman, 2002.
Hultt, W. Moral and Character Education, Valdosta State University. 2000.
Ikhwaan al-shafa’, al-Rasa’il, vol. 1, Beirut, 1957.
Kiely, Robert. "Religion in (and out of) the University Curriculum"  in Journal of the American academy of Arts and Sciences. Spring . Religion and Education, 1988.
Lanqing, Li. Education for 1.3 Billion, Research Press 2004.
Lewis C. Henry, Best Quotations for All Occasions”, 1955 & 1957.
Mapuna, Hadi D. dkk. Dulu IAIN Kini UIN Alauddin, Alauddin Press, Makassar : 2005.
Marun, Yusuf. Qaamuus al-Hikam wa al-Amtsaal wa al-Aqwaal al-khalidah :Qatharaat min Yanaabii al-Fikri al-Alamiy, terbitan al-Muassasah al-Haditsah li al-Kitaab, Tripoli, Libanon, 1996.
Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, Jakarta: Indonesia Heritage Foundation, 2007.
Nashiif , Emiil. Arwa’u Maa Qiila fi al-Amtsaal, Daaru al-Jail, Beirut, 2005.
Nasr,  Seyyed Hossein. Traditional Islam in the Modern World, Kegan Paul International, London : 1994.
Qutb, Muhammad. Minhaju al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Cairo : Dar al-Syuruuq, tt.
Republika. , Harian Nasional. "Berhenti bersikap Egoistis" oleh Dwijuwono (tanggal 12 Juni 1996).
Richard W. Pound Fitzhenry & Whiteside, High Impact Quotations, Fawcwtt World Library, New York, Markham, Ontario, 2004,
Ryan, Bohlin, Karen D. Farmer, Kevin. Building Character in Schools : Resource Guide, California : Jossey Bass, 2001.
Smith, Huston. Essays on World Religions.  New York : The New American Library, 1992.
Syihab, Quraish. Wawasan al-Qur\'an, Bandung : Mizan, 1998.
______. Secercah Cahaya Ilahi, Bandung: Mizan, 2000.
Thaha Mahmuud, Muhammad, Duruusu al-Akhlaaq, Cairo : Mathba\'ah al-Ma\'ahid, 1932.
‘Ukawiy, Rihab. Diywaanu dan Syarhu Diywaanu al-Imaam al-Syafiiy, Daru al-Fikri al-Arabiy, Beirut, 1992.
\'Ulwaan, Nasih  Abdullah. Tarbiyatul Awlaad fi al-Islaam, Cet.XXI , Jilid I, Jeddah: Daarussalaam, 1992.
Yunus, Mahmud.  Attarbiyatu wa al-Ta\'liim, Jilid 1, Padang Panjang : Al-Maktabah al-Sa\'diyah, 1942.
Zurayk, Constantine K. 1968. The Refinement of Character, Beirut: The American

Sumber: Website resmi UIN Alauddin Makassar.
0 Komentar untuk "Strategi Dan Implementasi Pendidikan Abjad Bangsa Di Sekolah Tinggi Tinggi"

Back To Top