Sunni-Syiah sebagai Produk Sejarah
Ketika Sunni dan Syiah mengakui yang kuasa yang sama, nabi yang sama, Quran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan?Sunni dan Syiah yaitu dua mainstream Islam yang sama-sama post-quranic. Keduanya terbentuk sehabis wahyu berhenti diturunkan dan sehabis nabi Muhammad saw wafat. Perselisihan paham antarkeduanya berlangsung semenjak terbentuknya aliran tersebut di masa-masa pertama Islam hingga hari ini. Keduanya saling perang ayat dan riwayat, bahkan tidak jarang keduanya saling mengafirkan. Kontestasi perebutan efek juga berlangsung dari doloe hingga kini dan kontak fisik sering tidak terhindarkan. Begitu parahkah perbedaan antarkeduanya sehingga tak ada secercah impian mendekatkan kedua kekuatan dahsyat Islam ini?
Hasil diskusi intensif penulis (bersama dengan beberapa doktor dan guru besar UIN Alauddin) dengan beberapa Ayatullah (ulama otoritatif) Syiah di Hawza Ilmiah Syiah di jantung peradaban Syiah di Qum, Iran, mengungkap sejumlah fakta menarikdanunik yang dipatut dipertimbangkan dalam rangka mendekatkan kedua mainstream besar Islam ini.
Sejumlah isu-isu kritis kami diskusikan secara akademik dan kepala dingin. Kami ke Iran mengikuti workshop ilmiah dengan membawa sejumlah pemahaman apriori wacana Syiah. Di antaranya yaitu perkiraan bahwa kitab suci Syiah (Alquran) tidak sama dengan kitab suci (Alruran) Sunni. Asumsi ini bukan tanpa dasar sebab disebutkan dalam ratusan riwayat dalam kitab al-Kafi karya al-Kulayni (salah satu dari empat kitab yang dianggap oleh Syiah sebagai kitab suci kedua sehabis Alquran, kurang lebih sama dengan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang diyakini oleh Sunni sebagai kitab kedua sehabis Alquran) bahwa terdapat manipulasi atau perubahan (tahrif) terhadap Quran yang ada sekarang.
Menurut al-Kulayni penulis kitab otoritatif tersebut, Quran yang ada di tangan kaum muslimin Sunni kini sebagian sudah diubah. INI salah satu penyebab mengapa kaum muslimin Sunni di dunia termasuk di Indonesia, memandang Syiah sesat sebab meyakini ketidakaslian Alquran.
Begitu kami hingga di Iran kami pribadi menilik Quran Syiah. Bahkan kami dibawa ke kawasan percetakan Quran dan didiberi hadiah Alquran. Ternyata, Quran Syiah dengan Quran Sunni tidak ada bedanya sama sekali. Ketika penulis menanyakan hal ini kepada salah seorang Ayatullah di Hawza, beliaupun menjawaban tak ada perbedaan. Yang menarikdanunik yaitu informasi dari kitab al-Kafi tidak sama dengan kenyataan di lapangan. Ketika kami menanyakan hal tersebut, Ayatullah menjawaban kami tidak menganggap al-Kafi sebagai kitab suci yang mustahil salah. Di situ banyak kesalahan yang kami kritisi, tidak sama dengan kalian di Sunni yang menjadikan Sahih al-Bukhari sebagai kitab suci yang tidak boleh dikritisi. Saya sempat sedikit tersindir dengan jawabanan tersebut.
Menurut Ayatullah yang lain, sudah terbit banyak buku yang mengKoreksi al-Kafi karya al-Kulayni. Poin ini penting sebab kitab ini sering dijadikan sumber oleh Sunni untuk menyerang kaum Syiah, sementara kitab ini sendiri sudah diKoreksi oleh Syiah.
Poin selanjutnya wacana sahabat dekat. Dalam literatur-literatur yang ditulis kaum Sunni disampaikan bahwa Syiah spesialuntuk mendapatkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahlul bait atau keluarga nabi, sementara hadis yang diriwatkan oleh sahabat dekat-teman akrab yang lain mereka tolak mentah-mentah, bahkan mereka, kaum Syiah mencerca sahabat dekat. Para Ayatullah yang sempat kami ajak diskusi mengingkari hal itu. Mereka menyampaikan bahwa sepanjang hadis tersebut sanggup dibuktikan otentisitasnya dari nabi, siapapun sahabat akrab yang meriwayatkan kami terima. Abu Bakar, Umar dan Usman yaitu sahabat akrab nabi yang mereka hormati. Poin ini sangat substantif sebab pendapat wacana sahabat akrab nabi sudah dan sedang menjadi sumber konflik antara kedua mainstream Islam ini.
Bahkan, ada di antara Ayatullah yang menandakan bahwa sedang ada konspirasi besar untuk mendiskreditkan Iran (Syiah) yang bertujuan untuk mencerai-beraikan umat Islam. Iran yaitu negara Islam terbesar dan terkuat, baik secara ekonomi, karakter, budaya dan politik dan paling resisten terhadap efek hegemoni Barat yang sama sekali tidak sanggup didikte oleh Amerika. Terdapat tidak kurang dari 200 chgual televisi di luar negri, terutama di Amerika, yang dibentuk dalam bahasa Parsi untuk mendiskreditkan Iran, untuk menyerang budayanya. Stasiun televisi inilah yang sering memunculkan padangan-pandangan miring yang berpotensi menjadikan kesalahpahaman terhadap Iran secara khusus dan Syiah secara umum, semoga Syiah dan saudaranya Sunni tidak sanggup bersatu berdasarkan Ayatullah tersebut.
Tentang nikah mut'a (kawin kontrak), sungguh tidak sama dengan apa yang kami pahami sebelumnya. Nikah mut'a memang dibenarkan oleh ulama Syiah dengan riwayat-riwayat yang berdasarkan mereka sanggup dipertanggungjawabankan kesahihannya. Bahkan argumentasi quranipun sanggup mereka tunjukkan. Menurut mereka, nikah mut'a dipraktikkan pada masa nabi. Banyak sahabat akrab yang sudah mempraktikkannya. Nanti pada masa Umar bin Khattab, khalifah kedua, Nikah mut'a dilarang. Mengapa sesuatu di masa nabi dibolehkan lalu dihentikan oleh Umar? Riwayat-riwayat tersebut tentu sanggup diperdebatkan, tetapi bukan tempatnya di sini mendiskusikannya. Tetapi, meskipun demikian nikah mut'a di kalangan Syiah tidak segampang dan tiruanrah yang dibayangkan.
Nikah mut'a memang masih ada di Iran, tetapi sangat terbatas. Di samping harus tercatat di catatan sipil, juga bukanlah musim terhormat di masyarakat. Praktik nikah mut'a sangat jarang dan spesialuntuk dalam kasus tertentu. Di kawasan lain, praktik nikah mut'a sering dieksploitasi dan dijadikan sebagai instrumen mengumbar nafsu. Nikah mut'a tentu tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tersebut.
Perbedaan yang paling fundamental yang diakui oleh mereka yaitu wacana khilafah. Mereka meyakini bahwa yang berhak menjadi khalifah sehabis nabi yaitu Ali, bukan Abu Bakar, Umar dan Usman. Keyakinan tersebut tentu di-back up oleh riwayat-riwayat yang mereka yakini kesahihannya. Konsep imamah dan wilayatul faqih yaitu tema yang juga menarikdanunik dan sangat gerah dalam diskusi kami, tetapi keterbatasan halaman ini mengakibatkan penulis tidak mengurainya di sini.
Poin yang penulis ingin sampaikan yaitu baik Sunni maupun Syiah mempunyai argumennya masing-masing, mempunyai dasar-dasar dari Quran dan hadis masing-masing. Sunni dan Syiah tidak sama dalam memahami teks, tidak sama dalam menilai keabsahan sumber atau riwayat-riwayat. Tetapi, ketika Sunni dan Syiah mengakui yang kuasa yang sama, nabi yang sama, Quran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan. Apatah lagi jikalau perbedaan-perbedaan itu dipahami dari sumber yang tidak tepat.
Bagi Sunni yang ingin mengetahui substansi pemikiran dan hakikat pemikiran Syiah sebaiknya membaca dari literatur Syiah, bukan dari sumber yang tidak suka kepada Syiah. Begitu pula sebaliknya, kelompok Syiah harus fair membaca literatur otoritatif Sunni untuk mengetahui esensi pemahaman Sunni. Mungkin dengan cara itu, Sunni dan Syiah sanggup bersinergi membangun peradaban Islam di masa yang akan hadir/ Amien. Wallahu a'lam. (*)
oleh Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A.
dia ketika ini sebagai Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Tag :
Artikel Agama
0 Komentar untuk "Sunni-Syiah Di Mata Seorang Guru Besar Uin Alauddin Makassar"